Monday, June 11, 2012

Ruju' (dalam Pernikahan)

Informasi Halaman :
Author : Syarif Hidayatullah, Staf Pengajar PAI di SMK Umar Mas'ud Sangkapura.
Judul Artikel : Ruju' (dalam Pernikahan)
URL : http://ibnsyam.blogspot.com/2012/06/ruju-dalam-pernikahan.html
Bila berniat mencopy-paste artikel ini, mohon sertakan link sumbernya. ...Selamat membaca.!

A.      Pengertian Ruju’
Ruju’ berasal dari kata ruj’ah yang artinya kembali. Maksudnya adalah kembali hidup bersama suami istri antara laki – laki dan perempuan yang melakukan perceraian dengan jalan talak raj’i selama masih dalam masa iddah tanpa akad nikah baru.

Menurut syara’ adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah ditalak raj’i.  Ruju’ adalah hak laki – laki untuk kembali pada mantan istrinya selama masih dalam masa iddah. Sehingga mantan istri tidak dapat membatalkannya sekalipun suaminya berkata “tidak ada ruju’ bagimu” , karena mantan suaminya masih berhak untuk meruju’nya. Hukumnya, menurut kesepakatan para ulama mazhab, adalah boleh. Menurut para ulama mazhab ruju’ juga tidak membutuhkan wali, mas kawin, dan juga tidak kesediaan istri yang ditalak.   Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat Al – Baqarah ayat 228 yang artinya :

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dapat di rumuskan bahwa ruju’ ialah mengembalikan setatus hokum perkawinan secara penuh setelah terjadinya talak raj’I yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa idddah, dengan ucapan tertentu. Dengan terjadinya talak raj’I. maka kekuasaan bekas suami terhadap istri menjadi berkurang, namun masih ada pertalian hak dan kewajiban antara keduanya selama istri dalam masa iddahnya, yaitu kewajiban menyediakan tempat tinggal serta jaminan nafkah, dan sebagai imbangannya bekas suami memiliki hak prioritas untuk meruju’ bekas istrinya itu dalam arti mengembalikannya kepada kedudukannya sebagai istri secara penuh, dan pernyataan ruju’ itu menjadi halal bekas suami mencampuri bekas istri yang dimaksud, sebab dengan demikain setatus perkawinan mereka kembali sebagai sedia kala.

B.       Hukum Rujuk
1.        Wajib khusus bagi laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu jika salah seorang ditalak sebelum gilirannya disempurnakannya.
2.        Haram apabila rujuk itu, istri akan lebih menderita.
3.        Makruh kalau diteruskan bercerai akan lebih baik bagi suami istri
4.        Jaiz, hukum asal Rujuk.
5.        Sunah jika rujuk akan membuat lebih baik dan manfaat bagi suami istri

Hukum Ruju’ dalam perceraian
1)        Hukum Ruju’ dalam Talaq Raj’i
kaum muslimin telah sepakat bahwa suami mempunyai hak meruju; istrinya selama istrinya itu dalam masa iddah, dan tidak atau tanpa pertimbangan seorang istri ataupun persetujuan seorang istri. Sesuai dengan pengertian surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi ”Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu.”

2)        Hukum ruju’ talaq ba’in
talak ba’in kadang-kadang terjadi dengan bilangan talak kurang dari tiga, dan ini terjadi pada istri yang belum digauli tanpa diperselisihkan lagi, dan pada istri, yang menerima khulu’ dengan terdapat perbedaan pendapat didalamnya. Hukum ruju’ setelah talak tersebut sama dengan nikah baru. Mazhab empat sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawinkannya kembali disyaratkan adanya akad. Hanya saja dalam hal ini selesainya ‘iddah tidak dianggap sebagai syarat.

C.      Syarat dan Rukun Ruju’
1.        Istri, Adapun syarat bagi perempuan yang diruju’ adalah :
a.         Perempuan itu adalah istri yang sah dari laki – laki yang meruju’
b.        Istri dicerai dengan bentuk talak raj’i
c.         Istri masih dalam masa iddah talak raj’i dan belum habis masa iddahnya
d.        Istri telah digauli pada masa perkawinan itu. Dan apabila istri belum digauli maka ia tidak memiliki masa iddah

2.        Suami, Syarat – syarat bagi suami yang meruju’ :
a.         Laki – laki yang meruju’ adalah suami bagi perempuan yang diruju’ yang dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah.
b.        Laki – laki yang meruju’ itu mentinya adalah laki – laki yang mempu melaksanakan pernikahan sendirinya, maksudnya adalah bahwa dia adalah laki – laki dewasa, sehat akalnya dan bertindak dengan kesadarannya sendiri dan bukan atas paksaan dari orang lain

3.        Saksi yaitu dua orang laki-laki yang adil.
Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat antara ulama. Diantaranya adalah pendapat jumhur ulama yang didalamnya termasuk juga Imam Syafi’i mengisyaratkan adanya dua orang saksi sebagaimana dalam pernikahan.
Dan pendapat kedua, pendapat jumhur ulama termasuk Imam Ahmad yang menyatakan bahwa dalam ruju’ tidak perlu saksi. Karena ruju’ hanya melanjutkan perkawinan yang telah terputus dan bukan memulai perkawinan yang baru, sehingga hukum adanya saksi dalam ruju’ bukanlah wajib.

4.        Sighat (lafal) rujuk ada dua, yaitu:
1)        terang-terangan , misalnya “Saya rujuk kepadamu”
2)        perkataan sindiran, misalnya “Saya pegang engkau” atau “saya kawin engkau” dan sebagainya, yaitu dengan kalimat yang boleh dipakai untuk rujuk atau yng lainnya.

D.      Rujuk dengan perbuatan (campur)
Perbedaan pendapat juga terjadi pada hokum rujuk dengan perbuatan. Syafi’I berpendapat tidak sah, karena dalam ayat alqur’an Allah menyuruh supaya rujuk dipersaksikan, sedangkan yang dapat dipersaksikan hanya sigat (perkataan). Perbuatan seperti itu sidah tentu tidak dapat dipersaksikan oleh orang lain. Akan tetapi, menurut pendapat kebanyakan ulama, rujuk dengan perbuatan itu sah. Mereka beralasan kepada firman Allah dalam surat Al-baqarah : 228 yang artinya : “ dan suami-suami berhak merujuknya”

Dalam ayat tersebut tudak ditentukan apakah dngan perkataan atau perbuatan. Hokum mempersaksikan dalam ayat diatas hanyalh sunat, bukan wajib. Qarinahnya adalah kesepakatan ulama (ijma’) bahwa mempersaksikan talaq-ketika menalaq-tidak wajib: demikian pula hendaknya ketika rujuk, apalgi beratri rujuk itu meneruskan pernikahan yang lama, sehingga tidak perlu wali dan tidak perlu ridho orang yang dirujuki. Mencampuri istri yang sedang dalam iddah raj’iyah itu halal bagi suai yang menceraikannya, menurut pendapat abu hanifah. Dasarnya krena dalam ayat itu ia masih disebut suami.

Rujuk itu sah juga meskipun tidak dengan ridho si perempuan dan atas sepengetahuannya karena rujuk itu berate mengekalkan pernikahan yang telah lalu. Kalau seorang perempuan dirujuk oleh suaminya sedangkan ia tidak tahu, kemudian setelah lepas iddahnya perempuan itu menikah dengan laki-laki lain karena dia tidak mengetahui bahwa suaminya rujuk kepadanya, maka nikah yang kedua ini tidak sah dan batal dengan sendirinya dan perempuan tersebut harus dikembalikan kepada suaminya.
perbedaan pendapat para ulama mazhab tentang terjadinya ruju’ melalui perbuatan.

1.        Menurut Imam Syafi’i
Rujuk harus dilakukan dengan ucapan atau tulisan. Karena itu, ruju’ tidak sah bila dilakukan dengan mencampurinya sesungguhpun hal itu diniatkan sebagai ruju’. Suami haram mencampurinya dalam ‘iddah. Kalau dia melakukan itu, ia harus membayar mahar mitsil, sebab percampuran tersebut tergolong pencampuran syubhat.

2.        Menurut Imam Malik
Ruju’ boleh dilakukan melalui perbuatan yang di sertai dengan niat untuk ruju’. Akan tetapi bila suami mencampuri istrinya tersebut tanpa niat ruju’, maka wqnita tersebut tidak akan bias kembali kepadanya. Namun percampuran tersebut tidak mengakibatkan adanya hadd (hukuman) maupun keharusan membayar mahar. Anak yang lahir dari perempuan dikaitkan nasabnya kepada laki-laki yang mencampurinya itu. Wanita tersebut harus menyucikan dirinya dengan haidh manakala dia tidak hamil.

3.        Menurut Imam Hambali
Ruju’ hanya terjadi melalui percampuran begitu terjadinya percampuran, maka ruju’ pun terjadi, sekalipun laki-laki tersebut tidak berniat ruju’. Sedangkan bila tindakan itu bukan percampuran, misalnya sentuhan ataupun ciuman yang disertai birahi dan lain sebagainya, sama sekali tidak mengakibatkan terjadinya ruju’

4.        Menurut Imam Hanafi
Ruju’ bias terjadi melalui percampuran, sentuhan dan ciuman, dan hal-hal sejenis itu, yang dilakukan oleh laki-laki yang menalak dan wanita yang ditalaknya, dengan syarat semuanya itu disertai dengan birahi. Ruju’ juga bisa terjadi melalui tindakan (perbuatan) yang dilakukan oleh orang tidur, lupa, dipaksa, dan gila. Misalnya seorang laki-laki menalak istrinya, kemudian dia terserang penyakit gila, lalu istrinya itu dicampurinya sebelum ia habis masa iddahnya.

5.        Menurut Imamiyah
Rujuk bisa terjadi melalui percampuran, berciuman dan bersentuhan, yang disertai syahwat atau tidak dan lain sebagainya yang tidak halal dilakukan kecuali oleh suami. Ruju’ tidak membutuhkan pendahuluan berupa ucapan. Sebab, wanita tersebut adalah istrinya, sepanjang dia masih dalam masa iddah. Dan bahkan perbuatan tersebut tidak perlu disertai niat ruju’. Penyusun kitab Al-Jawahir mengatakan, “barangkali tujuan pemutlakan nash dan fakta tentang ruju’ adalah itu, bahkan ruju’ bisa terjadi melalui perbuatan sekalipun disertai maksud tidak ruju;.” Sayyid Abu Al-Hasan mengatakan dalam Al-Wasilahnya,”perbuatan tersebut mengandung kemungkinan kuat sebagai ruju’, sekalipun dimaksudkan bukan ruju;.” Tetapi. Bagi Imamiyah, tindakan tersebut tidak dipandang berpengaruh manakala dilakukan oleh orang yang tidur, lupa, dan mengalami syubhat, misalnya bila dia mencampuri wanita tersebut karena menduga bahwa wanita tersebut bukan istrinya yang dia talak.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di ibnsyam.blogspot.com

1 komentar:

Pembaca yang baik, selalu meningggalkan pesan.