Tuesday, May 29, 2012

PERIODESIASI AL- QUR'AN

Informasi Halaman :
Author : Syarif Hidayatullah, Staf Pengajar PAI di SMK Umar Mas'ud Sangkapura.
Judul Artikel : PERIODESIASI AL- QUR'AN
URL : http://ibnsyam.blogspot.com/2012/05/periodesiasi-al-quran.html
Bila berniat mencopy-paste artikel ini, mohon sertakan link sumbernya. ...Selamat membaca.!
Semenjak Al-Qur'an diturunkan "nuzulul qur'an" tepatnya tanggal 17 Ramadhan, gendering dakwah Islam pertama mulai dikumandangkan oleh baginda Rasul. Al-Qur'an tidak diturunkan serta merta 30 juz namun secara berangsung-angsur "munajjaman" kurang lebih selama 23 tahun. 

Hal ini bukan tanpa alasan, namun banyak sekali hikmah yang bisa diambil didalamnya. Diantara hikmah tersebut, untuk memperkuat hati rasul & menghilangkan sifat pesimis dalam menyampaikan dakwahnya kepada orang-orang musrik. Setiap ada cobaan dakwah, Al-Qur'an turun memberikan solusi dan penawar sehingga memberi ketenangan dan memperteguh kembali hati beliau.

Dari kajian sejarah pembentukan Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa kitab suci ini berkembang dengan sangat dinamis, berinteraksi dengan kehidupan umat manusia, yang kadang sangat bersifat lokal dan temporal. Ayat-ayat yang dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan para sahabat Nabi, misalnya (yas’alunaka anil khamr, anil ahillah, anil mahidh, dan seterusnya), adalah refleksi dari kehidupan yang dijalani Nabi dan para sahabatnya. Kasus-kasus seperti minuman keras dan menstruasi (yang disebutkan dalam ayat yas’alunaka itu), adalah persolan manusia di dunia yang muncul tiba-tiba karena desakan situasi yang dihadapi para sahabat nabi saat itu. Dengan kata lain, jika tidak ada situasi yang mendesak tersebut, maka ayat-ayat tentang khamar dan menstruasi akan absen dari Al-Qur’an.
Mengkaji sejarah Al-Qur’an dengan melihat proses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan kesejarahan di mana ia diturunkan. Namun demikian, sebagai sebuah manifestasi dari kalamullah, Al-Qur’an memiliki kesamaan-kesamaan dengan kitab-kitab suci lainnya (yang juga merupakan kalamullah). Aspek kesamaan inilah (dalam bahasa Al-Qur’an disebut “kalimatun sawaa”) yang harus selalu ditekankan oleh kaum Muslim secara khusus dan seluruh umat beragama secara umum.


PENULISAN QUR'AN PADA ZAMAN NABI
Qur'an  sendiripun  menentukan  adanya  itu  dalam   bentuk tulisan. Begitu juga buku-buku  sejarah  sudah menentukandemikian, ketika menerangkan tentang Islamnya Umar,tentang adanya sebuah  naskah Surat  ke-20  (Surah  Taha) milik saudaranya yang perempuan dan keluarganya.
Umar masuk  Islam tiga atau empat  tahun sebelum Hijrah. Kalau  pada masa permulaan Islam wahyu itu ditulis dan saling  dipertukarkan, tatkala jumlah  kaum  Muslimin  masih sedikit dan mengalami pelbagai macam siksaan, maka sudah dapat dipastikan  sekali,bahwa  naskah-naskah tertulis itu sudah banyak jumlahnya dan sudah banyak pula beredar, ketika Nabi sudah mencapai puncak kekuasaannya dan kitab itu  sudah  menjadi undang-undang seluruh bangsa Arab.


PENGUMPULAN QUR'AN LANGKAH PERTAMA
Sesudah  selesai  menghadapi  peristiwa  Musailima – dalam perang Ridda  penyembelihan Yamama telah  menyebabkan  kaum Muslimin banyak yang mati, di antaranya tidak sedikit mereka yang telah menghafal Qur'an dengan  baik. Ketika  itu  Umar merasa kuatir akan nasib  Qur'an dan teksnya itu; mungkin nanti akan menimbulkan keragu-raguan orang bila mereka  yang telah  menyimpannya  dalam  ingatan itu, mengalami suatu hal lalu meninggal semua.Waktu itulah ia pergi menemui Khalifah Abu  Bakr  dengan mengatakan: "Saya kuatir sekali pembunuhan terhadap mereka yang sudah hafal  Qur'an  itu  akan  terjadi lagi di medan pertempuran lain selain Yamama dan akan banyak lagi dari mereka  yang  akan  hilang.  Menurut  hemat  saya, cepat-cepatlah kita    bertindak   dengan memerintahkan pengumpulan Qur'an.
Abu Bakr segera  menyetujui  pendapat  itu.  Dengan  maksud tersebut  ia  berkata  kepada Zaid bin Thabit, salah seorang Sekretaris Nabi yang besar: "Engkau pemuda yang  cerdas dan saya  tidak  meragukan kau. Engkau adalah penulis wahyu pada Rasulullah  s.a.w.  dan  kau  mengikuti  Qur'an  itu; maka sekarang kumpulkanlah."
Oleh  karena  pekerjaan ini terasa tiba-tiba sekali di luar dugaan, mula-mula Zaid gelisah sekali. Ia  masih  meragukan gunanya melakukan hal itu dan tidak pula menyuruh orang lain melakukannya. Akan tetapi akhirnya  ia  mengalah  juga  pada kehendak  Abu  Bakr dan Umar yang mendesak.
Dia mulai berusaha  sungguh-sungguh mengumpulkan surah-surah dan bagian-bagiannya dari segenap penjuru, sampai dapat juga ia mengumpulkan yang tadinya di atas daun-daunan, di atas  batu putih, dan   yang  dihafal  orang.  Setengahnya  ada  yang menambahkan, bahwa dia juga mengumpulkannya  dari  yang  ada pada  lembaran-lembaran,  tulang-tulang  bahu dan rusuk unta dan kambing. Usaha Zaid ini mendapat sukses.
Ia melakukan itu selama dua atau tiga tahun  terus-menerus, mengumpulkan   semua   bahan-bahan  serta  menyusun  kembali seperti yang ada sekarang ini, atau seperti  yang  dilakukan Zaid  sendiri membaca Qur'an itu di depan Muhammad, demikian orang mengatakan. Sesudah  naskah  pertama  lengkap  adanya, oleh  Umar  itu  dipercayakan  penyimpanannya kepada Hafsha, puterinya dan isteri Nabi. Kitab yang  sudah  dihimpun  oleh Zaid  ini  tetap  berlaku selama khilafat Umar, sebagai teks yang otentik dan sah.
Tetapi kemudian terjadi perselisihan mengenai cara membaca, yang timbul baik karena perbedaan naskah Zaid yang tadi atau karena perubahan yang dimasukkan ke dalam naskah-naskah  itu yang  disalin  dari  naskah  Zaid.  Dunia Islam cemas sekali melihat hal ini. Wahyu  yang didatangkan  dari  langit  itu "satu,"  lalu  dimanakah sekarang kesatuannya? Hudhaifa yang pernah berjuang di Armenia dan di Azerbaijan, juga  melihat adanya perbedaan Qur'an orang Suria dengan orang Irak.
Tetapi sungguhpun begitu masih ada suatu soal penting lain yang terpampang di depan kita, yakni; Pertama - Pengumpulan pertama selesai di bawah pengawasan Abu Bakr. Sedang Abu Bakr seorang sahabat yang jujur dan setia kepada Muhammad. Juga dia adalah orang yang sepenuhnya beriman pada kesucian sumber Qur'an, orang yang hubungannya begitu erat sekali dengan Nabi selama waktu duapuluh tahun terakhir dalam hayatnya, serta kelakuannya dalam khilafat dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari gejala ambisi, sehingga baginya memang tak adalah tempat buat mencari kepentingan lain. Ia beriman sekali bahwa apa yang diwahyukan kepada kawannya itu adalah wahyu dari Allah, sehingga tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya.
Pernyataan semacam ini berlaku juga terhadap Umar yang sudah menyelesaikan pengumpulan itu pada masa khilafatnya. Pernyataan semacam ini juga yang berlaku terhadap semua kaum Muslimin waktu itu, tak ada perbedaan antara para penulis yang membantu melakukan pengumpulan itu, dengan seorang mu'min biasa yang miskin, yang memiliki wahyu tertulis di atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu membawanya semua kepada Zaid. Semangat mereka semua sama, ingin memperlihatkan kalimat-kalimat dan kata-kata seperti yang dibacakan oleh Nabi, bahwa itu adalah risalah dari Tuhan. Keinginan mereka hendak memelihara kemurnian itu sudah menjadi perasaan semua orang, sebab tak ada sesuatu yang lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka seperti rasa kudus yang agung itu, yang sudah mereka percayai sepenuhnya sebagai firman Allah. Dalam Qur'an terdapat peringatan-peringatan bagi barangsiapa yang mengadakan kebohongan atas Allah atau menyembunyikan sesuatu dari wahyuNya. Kita tidak akan dapat menerima, bahwa pada kaum Muslimin yang mula-mula dengan semangat mereka terhadap agama yang begitu rupa mereka sucikan itu, akan terlintas pikiran yang akan membawa akibat begitu jauh membelakangi iman.
Kedua - Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga tahun sesudah Muhammad wafat. Kita sudah melihat beberapa orang pengikutnya, yang sudah hafal wahyu itu di luar kepala, dan setiap Muslim sudah hafal sebagian, juga sudah ada serombongan ahli-ahli Qur'an yang ditunjuk oleh pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam guna melaksanakan upacara-upacara dan mengajar orang memperdalam agama. Dari mereka semua itu terjalinlah suatu m`ta rantai penghubung antara wahyu yang dibaca Muhammad pada waktu itu dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum Muslimin bukan saja bermaksud jujur dalam mengumpulkan Qur'an dalam satu Mushhaf itu, tapi juga mempunyai segala fasilitas yang dapat menjamin terlaksananya maksud tersebut, menjamin terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam kitab itu, yang ada di tangan mereka sesudah dengan teliti dan sempurna dikumpulkan.
Ketiga - Juga kita mempunyai jaminan yang lebih dapat dipercaya tentang ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni bagian-bagian Qur'an yang tertulis, yang sudah ada sejak masa Muhammad masih hidup, dan yang sudah tentu jumlah naskahnyapun sudah banyak sebelum pengumpulan Qur'an itu. Naskah-naskah demikian ini kebanyakan sudah ada di tangan mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa apa yang dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan langsung dibaca sesudah pengumpulannya. Maka logis sekali kita mengambil kesimpulan, bahwa semua yang terkandung dalam bagian-bagian itu, sudah tercakup belaka. Oleh karena itu keputusan mereka semua sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada suatu sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan, bahwa para penghimpun itu telah melalaikan sesuatu bagian, atau sesuatu ayat, atau kata-kata, ataupun apa yang terdapat di dalamnya itu, berbeda dengan yang ada dalam Mushhaf yang sudah dikumpulkan itu. Kalau yang demikian ini memang ada, maka tidak bisa tidak tentu terlihat juga, dan tentu dicatat pula dalam dokumen-dokumen lama yang sangat cermat itu; tak ada sesuatu yang diabaikan sekalipun yang kurang penting.
Keempat - Isi dan susunan Qur'an itu jelas sekali menunjukkan cermatnya pengumpulan. Bagian-bagian yang bermacam-macarn disusun satu sama lain secara sederhana tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat. Tak ada bekas tangan yang mencoba mau mengubah atau mau memperlihatkan keahliannya sendiri. Itu menunjukkan adanya iman dan kejujuran sipenghimpun dalam menjalankan tugasnya itu. Ia tidak berani lebih daripada mengambil ayat-ayat suci itu seperti apa adanya, lalu meletakkannya yang satu di samping yang lain.


MUSHAF USMAN
Karena  banyaknya dan jauhnya  perbedaan  itu,  ia merasa gelisah sekali. Ketika itu ia lalu meminta agar Usman turun tangan. "Supaya  jangan  ada  lagi orang berselisih tentang kitab mereka  sendiri  seperti orang-orang Yahudi   dan Nasrani. Khalifahpun  dapat  menerima saran itu.
Untuk menghindarkan bahaya, sekali lagi Zaid bin Thabit  dimintai bantuannya  dengan  diperkuat  oleh tiga orang dari Quraisy.Naskah pertama yang ada di tangan Hafsha  lalu  dibawa, dan cara  membaca yang berbeda-beda dari seluruh persekemakmuran Islam itupun dikemukakan, lalu  semuanya  diperiksa  kembali dengan  pengamatan yang luarbiasa, untuk kali terakhir.
Kalaupun Zaid berselisih juga dengan ketiga sahabatnya  dari Quraisy  itu,  ia  lebih condong pada suara mereka mengingat turunnya wahyu itu menurut logat Quraisy, meskipun dikatakan wahyu   itu diturunkan   dengan  tujuh  dialek  Arab  yang bermacam-macam.
Selesai dihimpun, naskah-naskah  menurut Qur'an ini  lalu dikirimkan  ke seluruh kota persekemakmuran. Yang selebihnya naskah-naskah itu dikumpulkan lagi  atas  perintah  Khalifah lalu dibakar. Sedang naskah yang pertama dikembalikan kepada Hafsha. Kemudian menyisihkan jauh-jauh bacaan-bacaan selebihnya yang pada waktu itu terpencar-pencar di seluruh daerah itu. "MUSHAF USMAN CERMAT DAN LENGKAP"
Jadi kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan meyakinkan sekali ialah, bahwa Mushhaf Zaid dan Usman itu bukan hanya hasil ketelitian saja, bahkan - seperti beberapa kejadian menunjukkan - adalah juga lengkap, dan bahwa penghimpunnya tidak bermaksud mengabaikan apapun dari wahyu itu. Juga kita dapat meyakinkan, berdasarkan bukti-bukti yang kuat, bahwa setiap ayat dari Qur'an itu, memang sangat teliti sekali dicocokkan seperti yang dibaca oleh Muhammad." Panjang juga kita mengutip kalimat-kalimat Sir William Muir seperti yang disebutkan dalam kata pengantar The Life of Mohammad (p.xiv-xxix) itu. Dengan apa yang sudah kita kutip itu tidak perlu lagi rasanya kita menyebutkan tulisan Lammens atau Von Hammer dan Orientalis lain yang sama sependapat. Secara positif mereka memastikan tentang persisnya Qur'an yang kita baca sekarang, serta menegaskan bahwa semua yang dibaca oleh Muhammad adalah wahyu yang benar dan sempurna diterima dari Tuhan. Kalaupun ada sebagian kecil kaum Orientalis berpendapat lain dan beranggapan bahwa Qur'an sudah mengalami perubahan, dengan tidak menghiraukan alasan-alasan logis yang dikemukakan Muir dan sebagian besar Orientalis, yang telah mengutip dari sejarah Islam dan dari sarjana-sarjana Islam, maka itu adalah suatu dakwaan yang hanya didorong oleh rasa dengki saja terhadap Islam dan terhadap Nabi. Betapapun pandainya tukang-tukang tuduh itu menyusun tuduhannya, namun mereka tidak dapat meniadakan hasil penyelidikan ilmiah yang murni. Dengan caranya itu mereka takkan dapat menipu kaum Muslimin, kecuali beberapa pemuda yang masih beranggapan bahwa penyelidikan yang bebas itu mengharuskan mereka mengingkari masa lampau mereka sendiri, memalingkan muka dari kebenaran karena sudah terbujuk oleh kepalsuan yang indah-indah. Mereka percaya kepada semua yang mengecam masa lampau sekalipun pengecamnya itu tidak mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan sejarah.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di ibnsyam.blogspot.com

0 komentar:

Post a Comment

Pembaca yang baik, selalu meningggalkan pesan.